Mendorong Masyarakat Adat Pastikan Implementasi FPIC

Oleh Apriadi Gunawan

 

Masyarakat Adat didorong untuk memiliki peran secara penuh untuk bersama-sama memastikan implementasi prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam tata kelola sumber daya alam. FPIC merupakan hak Masyarakat Adat untuk mengatakan “ya dan bagaimana” maupun “tidak” untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah adat. Peran Masyarakat Adat dinilai penting mengingat beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat di wilayah adat yang menjadi target pembangunan pemerintah maupun perusahaan.

 

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan pentingnya penerapan FPIC dan peran Masyarakat Adat dalam memastikan itu. Komunitas Masyarakat Adat yang memiliki kapasitas pembelaan juga diharapkan dapat membantu komunitas Masyarakat Adat lain yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Rukka menerangkan, FPIC itu ibarat kita masuk ke rumah orang, jadi harus menyapa tuan rumah dan mendapat izin terlebih dahulu untuk bisa masuk.

 

“Yang terjadi selama ini, perusahaan masuk ke wilayah adat, tidak hanya tanpa izin, tapi mencuri, merampok. Setelah itu, membakar wilayah adat kita,” kata Rukka dalam sambutan membuka diskusi publik dengan topik “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang Berada di Dalam dan Sekitar Wilayah Operasional Bisnis dalam Menjalankan Protokol Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA).”

 

Diskusi publik yang diselenggarakan atas kerja sama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan AMAN itu berlangsung di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada 28 November 2022. Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai pihak, termasuk sektor pemerintah, masyarakat, dan privat.

 

Puluhan orang hadir dalam diskusi publik itu, di antaranya perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi sayap AMAN PEREMPUAN AMAN dan BPAN, serta komunitas Masyarakat Adat, termasuk Pamona, Togean, Kaili Tado, Kasimbar, Mateko, Rampi, Seko, Pali Sadan, Makale, Karama, Tabulahan, Adolang, dan lain-lain.

 

Rukka sempat menyinggung soal “ethic” (etika) dalam ruang diskusi publik tersebut. Ia menerangkan bahwa etika adalah turunan yang menjadi hak sekaligus mekanisme dan alat. Etika itu kalau kita lihat hidupnya, di atas “mamak”-nya etika itu ada yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri. “Nasib kita, wilayah adat kita, adalah keputusan kita. Itulah yang disebut hak asasi manusia (HAM),” katanya mengingatkan.

 

Rukka menyebut bahwa HAM terdiri dari dua jenis, yaitu hak individu dan hak kolektif. Hak kolektif Masyarakat Adat menjadi hidup dari seluruh hak-hak Masyarakat Adat, termasuk di dalamnya hak untuk menentukan nasib sendiri.

 

Kaitannya dengan etika, Rukka mengatakan bahwa etika bukan menyatakan isme, tapi dia adalah hak kolektif dari Masyarakat Adat.

 

“Mengapa hak kolektif itu penting? Karena tanpa hak kolektif atas nasib kita, atas wilayah adat kita, atas kehidupan kita, maka kita tidak mungkin lagi bisa menikmati hak-hak asasi yang bersinar di sini,” ungkapnya.

 

Terkait dengan “free” (bebas), menurutnya, itu berarti Masyarakat Adat tidak boleh diintervensi, ditekan, dan diintimidasi. Ketika melakukan proses, Masyarakat Adat harus bebas dari intervensi dan intimidasi.

“Kalau ada kepala desa atau polisi mengawal musyawarah adat, itu sudah dipastikan bukan free. Apalagi datang Koramil, intel-intel, awasi kita punya acara, itu pasti sudah bukan free,” tandasnya.

 

Dalam kesempatan itu, Rukka juga menyoal tentang informasi yang kerap dimanipulasi untuk kepentingan perusahaan. Informasi menjadi senjata utama dari perampasan wilayah adat.

 

“Yang disampaikan, informasi yang manis. Tidak pernah disampaikan kepada Masyarakat Adat, informasi yang benar,” ungkap Rukka. Padahal, lanjutnya, informasi dari A sampai Z itu harus disampaikan secara utuh. Namun, yang paling banyak dikeluhkan, perusahaan dan pemerintah kerap tidak transparan dalam menyampaikan informasi, bahkan tidak pernah membuka dokumen izin ke Masyarakat Adat. “Entah apa yang disembunyikan, padahal itu informasi publik. Tidak pernah dibuka, tapi dia (perusahaan) mengancam (dengan bilang bahwa) dia sudah punya izin. Banyak sekali kasus seperti ini.”

 

Catatan Akhir Tahun AMAN tahun lalu, menunjukkan berbagai data terkait maraknya perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi, dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat yang masih terus berlangsung dan semakin meningkat.

 

Sepanjang tahun 2022, PPMAN dan AMAN telah menerima 35 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup area seluas 251 ribu hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Bahkan, satu orang anggota komunitas Masyarakat Adat di Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tertembak mati dalam bentrok dengan aparat kepolisian saat aksi menentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seharusnya dapat menunjukkan komitmen terhadap implementasi prinsip yang tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang tegas menetapkan hak individu dan hak kolektif Masyarakat Adat, mulai dari hak Masyarakat Adat untuk memelihara dan memperkuat kelembagaan adat, budaya, tradisi, bahasa, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi Masyarakat Adat sendiri.

 

Pria yang akrab disapa Alam itu menambahkan bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan atau proyek, seharusnya negara menggunakan prinsip FPIC kepada Masyarakat Adat maupun masyarakat lokal yang akan terkena dampak dari pembangunan.

 

“PADIATAPA (FPIC) merupakan hak yang dimiliki Masyarakat Adat dan masyarakat setempat lainnya untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap pembangunan atau proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka,” terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ridha Saleh selaku Asisten Ahli Gubernur Sulawesi Tengah, mengatakan bahwa perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama karena itu terkait dengan hak mendasar yang melekat bagi Masyarakat Adat dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul kita.

Keberadaan Masyarakat Adat.

 

Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi mengatakan bahwa keberadaan Masyarakat Adat dilindungi oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 18B angka 2, di mana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 28I angka 3, juga disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 

Sjamsul menambahkan, keberadaan Masyarakat Adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia, di mana itu mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.

PPMAN Desak Polisi Hentikan Intimidasi terhadap Petani Desa Kalasey Dua di Minahasa

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak kepolisian untuk segera menghentikan segala bentuk tindakan intimidasi terhadap petani di Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

 

PPMAN juga meminta seluruh petani, mahasiswa, dan pendamping hukum yang ditangkap secara sewenang-wenang, segera dibebaskan.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa ada 12 orang petani, mahasiswa, dan pendamping hukum yang ditangkap saat terjadi penggusuran di lahan garapan petani di Desa Kalasey Dua pada Senin (7/11/2022). Mereka sempat ditahan di Polresta Manado. Namun, akhirnya mereka dibebaskan setelah diprotes oleh berbagai pihak, termasuk PPMAN.

 

“Sudah bebas semua yang ditahan, tapi polisi mengejar dua orang lainnya,” kata Syamsul Alam saat dihubungi pada Rabu (9/11/2022).

 

Ia menjelaskan bahwa telah terjadi penggusuran oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara dan ratusan aparat kepolisian di lahan garapan petani di Desa Kalasey Dua pada 7 November 2022. Sejak pukul 10.00 WITA, aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memaksa masuk ke lahan petani untuk melakukan penggusuran. Petani yang menolak kehadiran tersebut, memblokade jalan.Tetapi, aparat kepolisian tetap memaksa dengan tindakan represif terhada massa aksi.

 

“Akibat tindakan represif tersebut, beberapa orang petani mengalami luka-luka di bagian leher dan tangan kiri,” ungkap Syamsul.

 

Dalam peristiwa itu, Syamsul menilai bahwa Pemprov Sulawesi Utara, khususnya Gubernur Sulawesi Utara, tidak taat hukum. Ia menerangkan, lahan yang hendak dikuasai oleh Pemprov Sulawesi Utara tersebut masih dalam proses upaya hukum kasasi, bahkan belum ada putusan untuk melakukan eksekusi.

“Tapi, Pemprov Sulawesi Utara menggunakan aparat yang dilengkapi senjata api lengkap untukmemaksa masuk dan beberapa kali menembakkan gas air mata kepada massa aksi. Ini tindakan arogan,” tandas Syamsul sembari menambahkan kalau dalam penggusuran itu ada salah satu anggota polisi yang terekam mengeluarkan caci maki terhadap petani.

 

Ironisnya, sebut Syamsul, ada beberapa warga dan mahasiswa yang terus dikejar dan ditangkap oleh aparat kepolisian dan Satpol PP secara represif menggunakan kekerasan. Bahkan, posko petani di Desa Kalasey Dua dihancurkan, sehingga beberapa mahasiswa dan petani harus lari ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri.

 

Ia menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dengan cara-cara kekerasan yang diperlihatkan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP. Untuk itu, Syamsul menegaskan kalau PPMAN menuntut Pemprov Sulawesi Utara untuk menghentikan cara-cara kekerasan saat melakukan penggusuran. Ia juga meminta aparat kepolisian untuk segera menarik pasukannya dari lokasi penggusuran.

 

“Tarik aparat kepolisian dan hentikan intimidasi kepada petani, mahasiswa, dan pendamping hukum,” tandasnya.

 

Menurut Syamsul, cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dan Satpol PP, merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia.

 

“Tindakan represif aparat yang berkali-kali menembakkan peluru gas air mata ke arah warga, juga kategori tindakan yang tidak manusiawi,” ujarnya.

 

Kronologi Proses Hukum

 

Sejak 1982, petani Desa Kalasey Dua telah menggarap lahan pertanian dengan menanam pisang, singkong, kelapa dan lain-lain. Lalu, pada 2021, Gubernur Sulawesi Utara mengeluarkan SK Hibah No. 368/2021 tentang Pelaksanaan Hibah Tanah kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia seluas 20 hektar.

 

Namun, pada awal 2022, petani Desa Kalasey Dua – melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado – mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Manado dengan perkara No. 9/G/2022/PTUN.Mdo. Pada 24 Oktober 2022, LBH Manado melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung setelah pengadilan di PTUN Manado menyatakan bahwa gugatan petani Desa Kalasey Dua “tidak diterima”dan Pengadilan Tinggi TUN Makassar menguatkan putusan PTUN Manado.

 

Kronologi Eksekusi Lahan

 

Warga mendapatkan informasi bahwa akan ada proses eksekusi lahan milik petani di Desa Kalasey Dua Minahasa pada 7 November 2022. Sekitar pukul 07.00 WITA, petani dan jaringan masyarakat yang melakukan aksi solidaritas, mulai berkumpul. Ada sekitar 80 orang berada di titik utama yang merupakan titik masuk sebelah ring road lahan petani. Massa melakukan ibadah singkat, kemudian berjaga di lokasi menunggu kedatangan pihak pemerintah.

 

Dua jam kemudian, petani mendapatkan kabar bahwa pemerintah membawa aparat polisi dan Satpol PP menuju titik perkebunan petani dan mereka berkumpul di Kantor Desa. Ada sekitar tujuh mobil Sabhara yang berjaga. Warga melakukan penghadangan, namun beberapa orang massa solidaritas ditangkap.

Sekitar pukul 10.00 WITA, aparat tiba di lahan petani dan dihadang oleh warga. Aparat melakukan kekerasan dan beberapa petani ditangkap. Sekitar satu jam setelahnya, aparat memaksa masuk ke lahan petani dengan mengerahkan mobil pemadam kebakaran, menyiram warga, dan melempar gas air mata. Aparat memaksa menerobos masuk dan melakukan kekerasan dengan menabrak beberapa warga yang menghadang.

Menyoal Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Wilayah Operasional Bisnis

POSISI hukum masyarakat adat saat berhadapan dengan isu pembangunan maupun korporasi sangat lemah. Dalam banyak kasus, posisi masyarakat adat yang mempertahankan hak adatnya melawan kekuatan komplet korporasi yang dibelakangnya berdiri kekuatan negara memaksa masyarakat adat harus takluk. Fenomena ini muncul tekad kuat akan hadirnya komunitas masyarakat adat yang memiliki kapasitas advokasi. Dengan demikian dapat membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Keinginan itu, yang melatari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggelar diskusi yang menyoal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di dalam dan sekitar wilayah operasional bisnis, dalam menjalankan protokol persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan. Selanjutnya akronimnya disebut Padiatapa.

 

Diskusi yang berlangsung di Palu, 28 November 2022 ini, diharapkan mendorong peran masyarakat adat memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan prinsip Free, Prior and Informed Concern (FPIC). Khususnya penatakelolaan sumber daya alam masyarakat adat. Diskusi ini menghadirkan pembicara, Ridha Saleh mantan Anggota Komnas HAM kini Asisten Ahli Gubernur Sulteng. Syamsul Hadi, Direktur KMA Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dan Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat. Kemudian Irma Suriani – Manager Lingkungan dan CSR PT Poso Energy – salah satu perusahaan milik Bukaka Group yang membangun PLTA di Poso.

 

Diskusi dibuka oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, ia mengatakan, pentingnya prinsip FPIC bagi sebuah korporasi maupun lembaga negara melakukan kegiatan pembangunan di wilayah adat. Rukka bilang, FPIC itu ibarat masuk di rumah orang. Harus menyapa terlebih dahulu. Harus mendapatkan persetujuan untuk masuk atau tidak. Setelah dapat izin baru masuk. ”Yang selama ini terjadi, perusahaan masuk di wilayah adat masyarakat adat, tidak hanya masuk tanpa izin, tapi pencuri, merampok, setelah itu membakar rumah atau wilayah adat orang,” kritiknya.

 

Diskusi publik dilaksanakan sebagai salah satu kerangka kerja advokasi. Ini kata dia untuk memastikan prinsip Padiatapa diterapkan dalam level kebijakan publik terhadap perusahaan. Hal ini tidak terlepas massifnya pelanggaran HAM dalam wilayah operasi bisnis berupa kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, dan represif terhadap masyarakat adat. Diskusi publik ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan paralegal bagi masyarakat adat yang akan dilaksanakan pada 29 November hingga 2 Desember 2022 di Tantena, Kabupatan Poso.

 

Syamsul Hadi, Direktur KMA, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, mengatakan masyarakat adat dilindungi oleh Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B angka 2. Negara katanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya. Dan itu berlaku sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

Mengutip pasal 28I angka 3, Hadi kembali menambahkan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ini dilanjutkan dengan Amandemen UUD 1945 Pasal 32. Dimana Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu keberadaan Masyarakat adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia yang dimana mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

 

Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat, menyampaikan, Indonesia harus menunjukkan komitmen mengimplementasikan prinsip yang tertuang dalam Declaration on the rights of Indigeneous Peoples (UNDRIP). Di dalamnya menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat. Mulai dari hak Masyarakat adat untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka sendiri. Termasuk untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

 

Alam ini menambahkan, dalam rangka melaksanakan royek seharusnya negara menggunakan prinsip Padiatapa kepada masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan tersebut. Padiatapa merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat untuk memberi tidak persetujuan proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan mereka. Sedangkan Asisten Ahli Gubernur Ridha Saleh, mengatakan, perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama. Karena itu berkaitan hak mendasar yang melekat bagi masyarakat adat. Dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul maupun akan akan masa depan. Sementara Irma Suriani, pada kesempatan itu, memaparkan soal program elektrifikasi di Sulawesi yang bersumber dari PLTA Poso yang dibangunnya. Ia juga menyampaikan budidaya sidat melalui fish way (jalan ikan) yang dibangunnya di lokasi PLTA.

 

Sumber: https://www.roemahkata.com/menyoal-perlindungan-hak-masyarakat-adat-di-wilayah-operasional-bisnis/

IKN DAN KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN

Oleh Muhammad Arman
Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan IKN dari Jakarta sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bahkan jauh sebelum wacana pemindahan IKN pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1960-an, sejarah mencatat setidaknya telah terjadi dua kali pemindahan IKN dari Jakarta yakni ke Ibu Kota Yogyakarta dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemindahan IKN pada saat itu dilakukan karena adanya kegentingan akan keamanan bangsa karena perang merebut kemerdekaan.

 

Lalu apa alasan kegentingan pemindahan IKN saat ini? Setidaknya terdapat empat alasan yang mengemuka yaitu: Pertama, untuk mengurai kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa; Kedua, pemerataan ekonomi, Ketiga, krisis ketersediaan air bersih di Jawa, dan Keempat, ketersediaan lahan (konversi lahan).

 

Sekilas alasan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur sangat masuk akal dan tidak akan menimbulkan masalah. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil bahkan menyatakan telah tersedia lahan seluas 180 hektar sebagai lokasi pusat pemerintahan IKN yang telah ditunjuk, artinya dari sisi kesiapan lahan untuk pembangunan infrastruktur IKN sudah memenuhi syarat penunjukan Kalimantan Timur sebagai IKN baru.

 

Konflik Lahan

 

Pembangunan dan konflik berbasis lahan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hasil pertemuan dua tahunan IMF dan Bank Dunia (1980), menghasilkan suatu kesimpulan yang sangat menarik bahwa pembangunan berarti sama dengan penghancuran tananan sosial, ekonomi dan budaya sekaligus. Pembangunan yang tidak diawali dengan kebijakan yang berkeadilan akan menjelma menjadi sumber konflik, kantong-kantong pengangguran, kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.

 

Eskalasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan. Konsorsium Pembaruan Agraria (2015-2018)

mencatat telah terjadi 1.769 letusan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat perdesaan. Peningkatan konflik agraria yang terjadi setiap tahunnya mencapai 13 – 15%. Data YLBHI (2018) menunjukkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. Konflik ini disebabkan penerbitan izin-izin konsesi di atas tanah masyarakat oleh pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur dan penerbitan izin-izin konsesi perusahaan.

 

Kekeliruan pengelolaan sumber agraria dan sumber daya alam (SDA) diatas sesungguhnya telah lama disadari oleh pemerintah dan dikoreksi melalui TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA. Sayangnya hampir dua dekade penerbitan TAP MPR ini tidak dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah. Akibatnya konflik berbasis lahan dan SDA tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga berimplikasi pada kerusakan ekologis dan kerugian negara (Studi GNPSDA KPK; 2012).

 

Secara khusus wilayah yang ditunjuk sebagai lokasi IKN pun tidak luput dari konflik lahan karena adanya klaim hak yang berbeda dan tumpang tindih perijinan. AMAN (2019), mencatat sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) wilayah adat di Kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN. Selain itu telah terdapat izin konsesi perkebunan skala besar seluas 30 ribu hektar yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat. Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Artinya dengan masuknya wilayah tersebut sebagai pusat pembangunan infrastruktur IKN akan mempertajam konflik yang masih berlangsung.

 

Penataan Regulasi

 

Kajian Tim harmonisasi (2018), di sektor Undang-undang SDA dan lingkungan hidup (SDA-LH) terhadap duapuluh enam UU sektoral menunjukkan bahwa kerangka hukum positif SDA-LH hanya dominan pada pemenuhan prinsip kepastian hukum dan negara kesatuan, tetapi paling lemah dalam menjabarkan prinsip keadilan sosial.

 

Pengaturannya tidak banyak menyediakan norma-norma yang berkaitan dengan distribusi, perlindungan masyarakat marjinal, dan pemulihan hak. Sementara prinsip keberlanjutan dan demokrasi, presentase pemenuhannya di bawah 50%, sangat jauh dari standar pemenuhan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

 

Sejalan dengan itu, Kenichi Ohmae (1991) telah mengingatkan bahwa jika SDA merupakan sumber utama kekayaan negara, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kehadiran investasi untuk pembangunan tidak boleh melanggar hak asasi manusia setiap warga negaranya. Pembangunan harus berprinsip teguh pada pemenuhan hak asasi manusia dan memenuhi rasa keadilan setiap kelompok masyarakat.

 

Dengan demikian tanpa penataan regulasi yang berkeadilan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta pelaksanaan yang konsisten, kehadiran IKN dan pembangunan infrastruktur yang mengikutinya tidak hanya akan menimbulkan konflik dan ketimpangan penguasaan lahan, tetapi justru akan menciptakan neraka-neraka baru diatas tanah surga di Bumi Borneo.

KADER KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT MENINGKATKAN KAPASITAS PEMBELAAN HUKUM MELALUI PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik (Rabu, 14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru” kata Rukka.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun”, kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya”, pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., dan M.H.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Hormat Kami,
Sekretariat Nasional PPMAN

 

Syamsul Alam Agus, S.H.
Ketua

PPMAN Berikan Layanan Bantuan Hukum Gratis untuk Masyarakat Adat

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan pendampingan terhadap 2000 lebih masyarakat adat dari seluruh Nusantara yang hadir dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) yang dilaksanakan di Stadion Barnabas Youwe, Kabupaten Jayapura. PPMAN sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir untuk memberikan bantuan hukum kepada kepada Masyarakat Adat yang saat ini berhadapan dengan kasus-kasus hukum.

 

PPMAN sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir untuk memberikan bantuan hukum kepada kepada Masyarakat Adat yang saat ini berhadapan dengan kasus-kasus hukum.

Masyarakat Adat memerlukan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pasal 1. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum, pasal 2 penerima bantuan hukum adalah orang atau masyarakat yang miskin. Bantuan hukum yang diberikan oleh 25 orang advokat PPMAN ini dalam rangka untuk memberikan jaminan  perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang hadir dalam KMAN VI, tak terkecuali kepada Masyarakat Adat di Papua yang kini menjadi tuan rumah.

 

Dalam pantauan PPMAN, proses KMAN VI ini berjalan dengan baik. Pada kongres ini, PPMAN membuka layanan bantuan hukum dengan tema “Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Adat” dalam rangka untuk menerima pengaduan dan konsultasi hukum yang dilakukan oleh Masyarakat Adat.

 

Anggota PPMAN menjalankan tugas dan fungsinya sebagai advokat, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 1 angka a (1) Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.Angka (2) Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Angka (9) bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.  PPMAN sebagai organisasi yang menghimpun advokat dan ahli hukum memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum baik itu dalam bentuk informasi hukum maupun tindakan pendampingan dalam proses peradilan kepada masyarakat.

 

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/nusantara/532242/ppman-berikan-layanan-bantuan-hukum-gratis-untuk-masyarakat-adat

Hak Masyarakat Adat Tertahan di Konstitusi

Oleh Apriadi Gunawan

Sekretaris Jenderal (Sekjen)

 

AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa saat ini hak Masyarakat Adat masih tertahan di konstitusi serta belum terwujud dalam undang-undang (UU) holistik yang komprehensif untuk bisa membuat Indonesia melaksanakan mandatnya dalam menghormati, mengakui, melindungi,dan memajukan hak Masyarakat Adat.

 

Pernyataan itu disampaikan Rukka dalam diskusi publik bertajuk “Pembela Masyarakat Adat Sebagai Human Rights Defenders, Peluang, dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Gerakan) di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Rabu (14/9/2022).

 

Rukka Sombolinggi juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan Masyarakat Adat terhambat oleh paradigma negara yang menilai eksistensi Masyarakat Adat hanya dapat diakui bila telah terbit Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Masyarakat Adat. Menurutnya, Masyarakat Adat itu sudah hidup secara turun-temurun di wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri.

 

“Kalau negara tidak mengakui Masyarakat Adat serta hak kolektifnya, dengan alasan tidak ada Perda tentang Pengakuan Masyarakat Adat, maka itu adalah paradigma negara yang keliru,” tandasnya.

 

Rukka mengatakan bahwa membela tanah leluhur di negeri ini, masih dianggap perbuatan melawan hukum. Itulah mengapa Masyarakat Adat atau para pemimpin adat kita kerap berhadapan dengan hukummaupun pengadilan, katanya.

 

“Ini kita sebut kriminalisasi,” ujarnya sembari menambahkan bahwa kita masih kurang pengacara untuk membela Masayarakat Adat yang dikriminalisasi.

 

Rukka mengingatkan bahwa respect (hormat) terhadap Masyarakat Adat saja tidaklah cukup. Katanya, itu biasanya hanya di atas kertas. Dibutuhkan tindakan aktif untuk memastikan Masyarakat Adat mendapatkan bantuan dalam memastikan berbagai aksi pemajuan hak, termasuk bagi para penegak hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Selain itu, menurut Rukka, perlu berbagai aksi yang menarik,seperti penyuluhan untuk memastikan Masyarakat Adat dapat menikmati haknya dan sejajar dengan rakyat Indonesia lainnya.

 

“Protektif dan promotif ini sebenarnya tanggung jawab negara. Mengapa itu tidak dilakukan? Karena yang terjadi adalah berbagai kebijakan yang lahir digunakan sebagai alat hukum untuk menginvasi dan mengusir Masyarakat Adat dari wilayah adat,” ungkapnya.

 

Rukka menegaskan bahwa realitas itulah yang akan dibela oleh pengacara kita. Di negeri ini, sistem keadilan dibuat untuk terus mengalahkan kita. Ia mencontohkan bagaimana Masyarakat Adat yangmembela diri mempertahankan wilayah adatnya, malah disebut kriminal atau melakukan tindakan melawan hukum hanya karena perusahaan punya izin.

 

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Peradi Pergerakan Sugeng Teguh Santoso yang hadir dalam diskusi, menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi Masyarakat Adat itu seperti ada dan tiada. Padahal, sudah ada jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD)1945. Namun, itu tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dalam bentuk UU.

 

“Ini terbukti dengan tidak disahkannya RUU tentang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

Menurutnya, kemacetan itu diakibatkan oleh banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bila RUU disahkan. Itu akan menjadi tantangan bagi pembela hak Masyarakat Adat, terutama PPMAN, katanya.

 

“Kalian (para pembela hak Masyarakat Adat) diharapkan menjadi advokat pembela hak Masyarakat Adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja tanpa perjuangan untuk mewujudkannya,” lanjut Sugeng di acara diskusi yang dirangkai dengan pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PPMAN Angkatan I.

 

Turut hadir dalam acara rangkaian PKPA itu, termasuk Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia D. Y. Witanto dan Komisaris Besar Polisi Veris Septiansyah.

 

Ketua Umum PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa tujuan diselenggarakannya PKPA itu adalah untuk memperkuat akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang berhadapan dengan hukum.

“PKPA ini diselenggarakan dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader Masyarakat Adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh Masyarakat Adat,” katanya.

PPMAN Buka Klinik Hukum untuk Masyarakat Adat

Oleh Apriadi Gunawan


Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) membuka klinik hukum bagi Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang ingin mencari keadilan. Klinik hukum yang didirikan pada 12 Juni 2022 itubertujuan untuk menerima pengaduan dan melakukan konsultasi hukum atas masalah hukum, terutama bagi Masyarakat Adat yang mengalami masalah hukum, namun tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan hukum.


Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.


“Pemberian bantuan hukum ini, kita lakukan secara gratis. Tidak terbatas untuk Masyarakat Adat, tapi juga komunitas lokal. Ini kita lakukan untuk menjamin terlaksananya dan tercapainya keadilan bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya yang mengalami ketidakadilan hukum,” kata Syamsul Alam pada Selasa (14/6/2022).


Syamsul mengatakan, dalam praktiknya, PPMAN mengajak Indonesia Police Watch (IPW) untuk merespons dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia mengakui bahwa sejauh ini, kegiatan pengaduan dan konsultasi hukum telah berproses dengan baik. Masyarakat pun tetap melakukan pengaduan dan berkonsultasi dengan PPMAN dan IPW.


Berdasarkan catatan PPMAN dan IPW, pengaduan umumnya terkait dengan masalah hukum yang dialami dan dihadapi oleh Masyarakat Adat Rendu, khususnya pembangunan Waduk Lambo.


Masyarakat Adat Rendu melakukan penolakan atas penetapan lokasi pembangunan waduk itu karena berpotensi menghilangkan identitas Masyarakat Adat, di mana di wilayah adat tersebut terdapat area atau tempat untuk ritual, kuburan leluhur, pengembalaan, pertanian dan permukiman. Masyarakat Adat Rendu meminta agar pembangunan waduk dipindahkan ke Malawaka dan Lowopebhu.


Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso membenarkan bahwa sejauh ini, klinik hukum banyak menerima pengaduan dari Masyarakat Adat Rendu, termasuk penangkapan paksa, pemborgolan, dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat setempat.


“Apa yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu, merupakan tindakan unprocedural (tidak sesuai dengan ketentuan atau prosedur hukum yang berlaku), pelanggaran disiplin, dan pelanggaran kode etik karena ada penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu yang menolak pembangunan Waduk Lambo,” kata Sugeng.


Ia menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Rendu bukan merupakan tindak pidana. Sehingga, polisi tidak perlu bertindak represif dan melakukan penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu.


Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, kepolisian berkewajiban melindungi keyakinan Masyarakat Adat, bukan melakukan tindakan represif.


“Hak menyatakan pendapat dalam menolak pembangunan waduk yang dilakukan Masyarakat Adat Rendu, harus dihargai dan dihormati. Tidak boleh serta-merta diproses hukum,” ujarnya.


Sugeng juga mengkritik adanya kepala adat yang dilaporkan karena diduga melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan laporan Tipe A. Menurutnya, pelaporan itu salah kaprah karena pemimpin ritual adat memiliki hak untuk memegang parang adat.


“Kegiatan-kegiatan adat tidak dapat dikriminalkan,” tandasnya.


Ketua Region PPMAN Bali Nusra Anton Yohanis Bala yang hadir dalam kegiatan konsultasi hukum yang diselenggarakan oleh PPMAN, mengecam tindakan Lurah Danga yang berupaya menghentikan kegiatan itu dengan alasan warga yang hadir berasal dari luar Kelurahan Danga serta penyelenggaran kegiatantidak dilaporkan kepada pihak kelurahan. Padahal, tuan rumah dan PPMAN telah memberitahukan kegiatan kepada pegurus RT (Rukun Tetangga) setempat.


“Lurah Danga (menyalahgunakan kekuasaan) abuse of power, dia telah melakukan pelanggaran hukum. Kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat, sementara hak masyarakat untuk diperlakukan sama di hadapan hukum,” kata Yohanis Bala di lokasi berlangsungnya kegiatan klinik hukum yang diselenggarakan di rumah anggota PPMAN di Kelurahan Danga, Kabupaten Nagekeo, NTT.


Yohanis Bala mengatakan, seharusnya pihak kelurahan mendukung kegiatan klinik hukum itu karena sangat bermanfaat untuk masyarakat yang mencari keadilan. Ia menegaskan bahwa PPMAN berkomitmen untuk terus membantu masyarakat yang mengalami ketidakadilan hukum, khususnya Masyarakat Adat Rendu.

“PPMAN akan terus mendampingi Masyarakat Adat Rendu hingga mereka mendapatkan keadilan.Sebaliknya, kita akan melaporkan pihak-pihak yang selama ini menyalahgunakan kewenangannya untuk menindas Masyarakat Adat Rendu,” Yohanis Bala.

Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik (Rabu, 14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru” kata Rukka.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun”, kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya”, pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., dan M.H.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di aspirasirakyatnusantara.com dengan Judul “Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat”.

Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat

 

BOGOR – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka dalam acara diskusi publik di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Rabu (14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan PERADI Pergerakan.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., perwakilan Mabes Polri.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat”.