Perhimpunan Pengacara Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara mengatakan, penangkapan terhadap 24 warga Masyarakat Adat Rendu yang sedang berjuang mempertahankan hak – hak konstitusi mereka merupakan bentuk kriminalisasi paling nyata yang dilakukan oleh penguasa terhadap Masyarakat Adat dalam beberapa dekade terakhir ini.
Hal ini dikatakan Antonius Johanis Bala, SH., Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra hari ini, Rabu (06/04/2022) dalam menyikapi tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang telah melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang Masyarakat Adat Rendu untuk dibawa ke kantor Kepolisian Resor Nagekeo.
Antonius Johanis Bala, SH mengatakan pihak PPMAN sangat kecewa dengan tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi serta intimidasi terhadap Masyarakat Adat Rendu yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi karena tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum dan konstitusi akan keberadaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya telah dilindungi oleh konstitusi seperti yang dimandatkan dalam Undang – Undang Dasar 1945.
Polisi juga lanjut Antonius Johanis Bala, sesungguhnya telah melanggar Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Azasi Manusia.
“Pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap Masyarakat Adat yang ada di Rendu. Dan situasi ini dimanfaatkan oleh Kepolisian Resor Nagekeo untuk membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk Lambo tersebut dengan membuat skenario untuk menciptakan konflik horisontal antara Masyarakat Adat dari suku yang berbeda dengan Masyarakat Adat suku Rendu,” kata Antonius Johanis Bala.
Antonius Johanis Bala mengungkapkan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan sikap tegas dengan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu tersebut.
Pihak PPMAN menjelaskan, tindakan Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL), Bernadinus Gaso yang menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tertekan dan tidak bebas, karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.
Dilanjutkan Antonius Johanis Bala atau yang biasa disapa John Bala ini mengungkapkan, pernyataan sikap yang disampaikan oleh Ketua Forum, Bernadinus tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan Masyarakat Adat Rendu karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi secara baik dengan Masyarakat Adat lainnya disaat Ketua Forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan waduk Lambo tersebut. Hal ini dapat dilihat dari semua alat komunikasi yang mereka miliki diambil dan disita serta ditahan oleh aparat kepolisian di kantor Polres Nagekeo, sehingga dapat dipastikan ada keterbatasan akses bagi Ketua Forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari Masyarakat Adat lainnya.
Ketua Yayasan Bapikir ini menambahkan, tindakan Kepolisian Resor Nagekeo yang menjemur Masyarakat Adat pada terik matahari merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik, karena aparat kepolisian yang baik tidak akan memperlakukan masyarakat dengan beradab dan santun serta melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Resor Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah – perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangunkan proyek di waduk Lambo.
Sementara itu Ermelina Singereta SH., Manager Bidang Advokasi PPMAN saat dihubungi secara terpisah melalui telephone selulernya mengatakan, Masyarakat Adat Rendu melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Resor Nagekeo menunjukan Masyarakat Adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak, dan dapat diduga konferensi pers tersebut dilakukan atas perintah pihak kepolisian untuk menyampaikan persetujuan terhadap pembangunan waduk Lambo yang selama ini ditolak oleh mereka.
Ermelina menjelaskan pihak PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri beberapa waktu lalu dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT, namun hingga saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.
“Nah, ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan ketidakprofesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT. Sesungguhnya sikap seperti ini sangat merugikan masyarakat NTT. Disamping melaporkan ke Propam Mabes Polri, PPMAN juga telah membuatkan laporan ke Kompolnas RI, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tandas Ermelina.
Advokat Perempuan kelahiran Manggarai ini menegaskan, pihak PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan kembali membuatkan laporan ke Propam Mabes Polri, lembaga negara lainnya dan juga ke Komisi III DPR RI (Komisi Hukum) yang merupakan mitra kerja dari Mabes Polri.
“Hal ini sangat penting dilakukan agar Komisi III DPR RI dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian Republik Indonesia dan segera melakukan pemeriksaan serta evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Rendu, namun sebaliknya menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha,” tegas Ermelina Singereta.
Pihaknya berjanji akan terus mengkawal dan mendampingi Masyarakat Adat Rendu dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, agar tercapainya keadilan bagi Masyarakat Adat Rendu yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya. ***(welano)
Sumber : https://www.jongflores.com/2022/04/ppman-sebut-penangkapan-24-warga-ma.html